Upacara Adat Panggih Pengantin Gaya Yogyakarta
Yogyakarta, JOGJA TV| Upacara adat perkawinan ageng Mataraman Yogyakarta saat ini sudah mulai langka diselenggarakan. Padahal upacara adat ini mengandung makna filosofi tinggi. Untuk mengenalkan kembali upacara adat panggih pengantin gaya Yogyakarta yang sesuai pakem, keluarga Heru Sulistyawan dari Panembahan Kota Yogyakarta menggelar upacara panggih ketikamenikahkan putrinya. Dalam upacara adat ini suasana perkawinan dikembalikan seperti jaman dahulu lagi. Seluruh panitia dan tamu undangan yang hadir diwajibkan mengenakan busana adat Yogyakarta. Bahkan kendaraan yang digunakan pun adalah kereta kuda. Pelaksanaan upacara adat panggih semakin terasa lengkap dengan adanya pengawalan satu bregada prajurit kraton.
Keluarga Heru Sulistyawan yang berdomisili di dalam lingkup beteng Kraton Yogyakarta sengaja menggelar upacara adat panggih untuk putrinya dengan menggunakan adat Mataraman Yogyakarta. Hal ini dimaksudkan untuk melestarikan adat budaya Jawa khususnya gaya Yogyakarta. Selain itu juga untuk menginspirasi orang lain agar kembali menghidupkan upacara adat panggih gaya Yogyakarta. Menurutnya hajatan perkawinan secara klasik dipandang lebih baik karena untuk melestarikan budaya. “Acara seperti ini bisa menginspirasi yang lain karena perkawinan itu kalau bisa lebih klasik itu lebih baik, karena itu adalah memang budaya kita sendiri,” kata Heru.
Pelaksanaan Upacara adat panggih dilakukan setelah ijab qobul. Upacara panggih gaya Mataraman Yogyakarta ini terdiri dari beberapa prosesi. “Panggih” adalah bahasa Jawa yang artinya bertemu, yakni bertemunya mempelai pria dan mempelai wanita dalam upacara adat perkawinan budaya Jawa. Tujuan dari upacara panggih adalah untuk mengharap masa depan yang bahagia bagi kedua mempelai serta untuk kebaikan bersama.
Uborampe atau sesaji yang disiapkan untuk pelaksanaan upacara panggih adalah sanggan. Sanggan ini dimaknai sebagai sarana untuk menebus pengantin putri agar keluar dan dipertemukan dengan pengantin pria. Sanggan terdiri dari satu tangkep pisang raja, sirih ayu, bunga setaman serta benang lawe.
Disamping itu, juga disiapkan tujuh buah gantal yang terbuat dari daun sirih yang diisi dengan kapur sirih kemudian digulung dan diikat dengan lawe atau benang warna putih.
Sanggan tersebut dibawa oleh keluarga pengantin pria dan kemudian diserahkan kepada kedua orangtua pengantin wanita. Orang yang membawa sanggan ini adalah utusan dari pihak pengantin pria.
Selain dimaknai untuk menebus pengantin putri sanggan juga dimaknai sebagai buah tangan ketika bertamu mengetuk pintu. “Maknanya kalau orang Jawa itu kalau mau kula nuwun itu buah tangan, jadi untuk ngetuk pintu,” papar Perias Pengantin, Hj. Nunung.
Setelah semua uborampe disiapkan saatnya upacara panggih dilaksanakan. Mempelai pria beserta orangtua dan keluarganya mendatangi rumah mempelai wanita. Suasana klasik terlihat disini karena rombongan pengantin pria tidak menggunakan mobil tetapi menggunakan kereta kuda. Sesampainya di rumah pengantin wanita utusan yang membawa sanggan menyerahkan sanggan atau tebusan itu kepada kedua orangtua pengantin wanita.
Sebelum sanggan diserahkan terlebih dahulu dilakukan prosesi kembar mayang. Kembar mayang yang berjumlah empat buah ini disentuhkan kepada kedua mempelai. Kembar mayang sebagai simbol bahwa kedua mempelai statusnya masih perjaka dan gadis. Setelah kembar mayang disentuhkan kepada pengantin pria kemudian dibuang yang maknanya adalah membuang sial dan diharapkan kehidupan pasangan pengantin ini tidak menemui halangan apapun.
Menurut Perias Pengantin, Hj.Nunung jumlah kembar mayang untuk upacara panggih pengantin gaya Mataraman Yogyakarta secara pakem adalah 4 buah. Namun ada juga yang hanya menggunakan dua buah kembar mayang tetapi sebetulnya yang baku yakni berjumlah 4 buah. “Karena ini pengantin adat Yogyakarta itu pakemnya kembar mayang empat, bisa dua, tapi bakunya itu empat”, tegas Hj. Nunung.
Sanggan yang sudah diterima oleh kedua orangtua pengantin wanita selanjutnya dibawa masuk. Setelah itu, orangtua pengantin wanita membawa keluar putrinya untuk dipertemukan dengan pengantin pria dalam prosesi Panggih.
Setelah pengantin pria dan pengantin wanita dipertemukan. Mereka berhadap-hadapan dan melakukan prosesi balangan gantal yaitu saling melemparkan gantal atau lintingan daun sirih. Gantal berjumlah 7 buah. Empat buah untuk pengantin pria dan tiga buah untuk pengantin wanita. Gantal ini adalah symbol pertemuan jodoh antara mempelai pria dan wanita yang telah diikat dan disatukan dengan benang kasih. Menurut Hj. Nunung gantal harus dilemparkan bukan diberikan. Hal ini dimaksudkan untuk menghalau gangguan-gangguan yang bersifat goib yang tidak terlihat oleh mata manusia.
Usai prosesi balangan gantal kemudian dilanjutkan dengan prosesi wijikan. Dalam prosesi ini pengantin wanita membasuh kaki pengantin pria. Wijikan adalah symbol bakti seorang istri kepada suaminya. Seorang istri harus taat kepada suaminya. Sebaliknya, suami harus bisa ngayomi dan ngayemi istrinya.
Berikutnya adalah prosesi mecah telur. Sesuai adat Yogyakarta prosesi mecah telur dilakukan oleh perias bukan dilakukan oleh pengantin pria. Sebelum dipecahkan telur tersebut disentuhkan di dahi kedua mempelai. Dahi adalah pusat pemikiran sehingga diharapkan jika ada masalah nantinya bisa dipecahkan bersama-sama antara suami istri.
Setelah prosesi wijikan dan pecah telur kedua mempelai kemudian berjalan bergandengan menuju ke pelaminan dengan saling mengaitkan jari kelingking mereka. Setelah duduk di kursi pelaminan kedua mempelai melakukan prosesi tampa kaya atau sering disebut kacar kucur. Dalam prosesi ini mempelai pria menuangkan kaya yang berupa biji-bijian, bunga, dan uang logam ke atas kain yang ada dipangkuan mempelai wanita. Kaya ini kemudian dibungkus dengan cermat oleh mempelai wanita. Tampa kaya melambangkan bahwa seorang suami harus bertanggung jawab memberikan nafkah kepada istri dan keluarganya. Diharapkan juga sang istri bisa mengelola pemberian dari suaminya itu secara baik dan tidak boros.
Kaya yang diterima oleh mempelai wanita tersebut kemudian diserahkan kepada ibunya. Penyerahan kaya kepada ibu mempelai wanita ini adalah sebagai wujud bakti seorang anak kepada orangtuanya yang selama ini telah membesarkan dan mengantarkan sang anak hingga ke jenjang perkawinan.
Berikutnya adalah prosesi dhahar klimah. Prosesi ini melambangkan kemantapan hati kedua mempelai untuk membangun rumah tangga dan juga melambangkan kerukunan diantara keduanya. Dalam prosesi ini pengantin pria membuat tiga kepalan nasi kuning. Kemudian nasi diletakkan di atas piring selanjutnya dimakan oleh pengantin wanita. Sesuai adat Yogyakarta dalam prosesi dhahar klimah yang memakan kepalan nasi adalah pengantin wanita sedangkan pengantin pria hanya menyaksikan saja. Hal ini melambangkan bahwa istri harus bisa menyimpan rapat-rapat rahasia suaminya, tidak perlu diumbar kemana-mana.
Prosesi terakhir adalah sungkeman. Dalam prosesi ini pengantin putri melakukan sungkem kepada ayahnya baru kemudian sungkem kepada ibunya. Sesuai adat Kraton Yogyakarta seorang ayah memang diutamakan karena ayah adalah imam yang memimpin dan melindungi keluarganya. Sungkeman dilakukan secara bergantian yakni dari pengantin wanita dulu sungkem kepada orangtuanya diikuti pengantin pria sungkem kepada ayah dan ibu mertua. Lalu pengantin pria sungkem kepada bapak ibunya diikuti oleh pengantin wanita. Sungkeman pertama kali dilakukan kepada orangtua mempelai wanita baru kemudian kepada orangtua mempelai pria. Hal ini karena yang punya hajat adalah orangtua mempelai wanita maka dari itu harus didahulukan. Prosesi sungkeman menjadi penutup dari rangkaian upacara adat Panggih Pengantin gaya Yogyakarta. Di dalamnya terkandung makna sebagai permohonan doa restu agar kelak kehidupan mereka senantiasa dilingkupi kebahagiaan. (gbr sungkeman segmen 2 menit 09:39)(gbr tarian segmen 3 menit 05:30)
Setelah upacara panggih selesai dilaksanakan berikutnya disuguhkan tarian untuk menghibur para tamu yang hadir. Tarian yang disajikan adalah tari klasik gaya Yogyakarta meliputi tari golek surung dayung, golek menak marmoyo marmadi, klana topeng gagah dan Gathotkaca Pergiwo. Bukan sekedar sebagai hiburan semata namun keseluruhan tarian yang disuguhkan tersebut juga mengandung makna filosofi tersendiri yang intinya adalah untuk mengharap kebaikan bagi kedua mempelai. (Rum)Sumber: Adiluhung, Selasa 07/03/17)
2 Likes