Share this with friends
Nov
02
Yogyakarta, JOGJA TV| Upacara adat mitoni merupakan salah satu upacara daur hidup yang diselenggarakan saat seorang ibu hamil menginjak usia kehamilan tujuh bulan pada kehamilan yang pertama. Dalam budaya Jawa angka pitu (tujuh) diartikan sebagai pitulungan. Dengan demikian upacara mitoni dimaksudkan supaya saat proses persalinan nanti ibu dan bayi diberikan keselamatan, sehat dan tidak kurang suatu apapun.
Seorang calon ibu yang sedang mengandung anak pertama biasanya mengalami kecemasan pada bayi yang dikandungnya. Untuk menghilangkan rasa cemas yang menghinggapi calon ibu yang akan melahirkan, nenek moyang suku Jawa memiliki cara tersendiri, yaitu dengan menggelar upacara mitoni. Menurut praktisi budaya Jawa, Tienuk Rifky, Mitoni berasal dari kata pitu (tujuh) yang artinya adalah pitulungan atau pertolongan. Dengan menggelar upacara mitoni saat kehamilan tujuh bulan artinya adalah memohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa supaya ibu yang melahirkan diberikan kelancaran dan bayi yang dilahirkan selamat, sehat dan tak kurang apapun. Dari aspek psikologis upacara mitoni dapat menghilangkan rasa cemas yang biasa dialami calon ibu pada masa kehamilan pertama.
Melihat tujuan baik dari upacara mitoni maka sebagian besar masyarakat Jawa berupaya mempertahankan upacara mitoni ditengah-tengah kehidupan modern saat ini. Ini pula yang dilakukan oleh keluarga besar GBPH. H. Prabukusumo, S.Psi atau yang akrab disapa Gusti Prabu saat menyelenggarakan upacara mitoni untuk putri menantunya, Anugerah Sari Rezeki yang merupakan istri dari RM. Sonie Armanto Prabu Putro yang tak lain adalah putra dari Gusti Prabu.
Menurut tradisi Jawa waktu untuk melaksanakan upacara mitoni dipilih hari khusus, yaitu biasanya hari selasa atau sabtu. Menurut keyakinan orang Jawa hari selasa dan hari sabtu banyak memiliki pitulungan (pertolongan). Waktu pelaksanaanya adalah saat pagi hari menjelang waktu dhuhur.
Selain memilih hari yang tepat untuk melaksanakan mitoni, diperlukan juga berbagai sarana yang dibutuhkan untuk pelaksanaan upacara mitoni. Kelengkapan atau ubarampe yang harus dipersiapkan untuk upacara mitoni antaralain: air yang berasal dari tujuh sumber mata air, kembang setaman, cengkir gading bergambar Bethara Kamajaya dan Dewi Ratih, dua buah kelapa hijau, gayung yang masih ada daging kelapanya, tujuh perangkat busana, aneka dedaunan sebagai alas duduk calon ibu, kendi, janur kuning, teropong dan konyoh.
Selain itu, juga diperlukan sarana yang berupa makanan yang meliputi tumpeng robyong, tumpeng megono, tumpeng pitu, tumpeng uruping damar, nasi kuning, jajan pasar, pisang sanggan, buah-buahan, jenang abang putih, jenang procot, jenang sungsum, dan tujuh macam ampyang.
Aneka ubarampe tersebut masing-masing memiliki makna. Tumpeng robyong melambangkan kebaikan, tumpeng megono memiliki makna kesegaran, tumpeng pitu bermakna selalu mendapat pertolongan, tumpeng uruping damar melambangkan keutamaan, nasi kuning melambangkan kesuksesan dalam hidup, jajan pasar dan buah-buahan bermakna agar jabang bayi bisa lahir normal, tidak kurang suatu apapun, jenang abang putih melambangkan bertemunya bibit laki-laki dan perempuan, jenang procot bermakna agar jabang bayi bisa lahir dengan lancar dan sehat, tujuh macam ampyang yang rasanya manis bermakna agar bayi yang lahir kelak bisa mendapatkan kehidupan yang manis.
Prosesi mitoni diawali dengan sungkeman. Pertama, calon ibu sungkem kepada suaminya atau calon bapak. Setelah itu, calon ibu dan calon bapak tersebut sungkem kepada orangtua kedua belah pihak.
Prosesi berikutnya dilanjutkan dengan siraman. Dalam prosesi ini calon ibu dimandikan dengan air yang berasal dari tujuh sumber yang ditaburi kembang setaman. Orang yang bertugas memandikan adalah para pinisepuh yang terdiri dari tujuh orang ibu-ibu dan semuanya sudah mempunyai cucu. Jumlah tujuh orang juga bermakna pitulungan. Siraman diawali oleh kedua nenek dari calon jabang bayi kemudian dilanjutkan dengan lima orang ibu-ibu lainnya. Pada saat menyiramkan air kedua orangtua melakukan siraman sebanyak tujuh kali dan kemudian dilanjutkan dengan mengoleskan konyoh di pusar calon ibu jabang bayi. Sementara itu, lima orang ibu-ibu lainnya hanya melakukan siraman sebanyak tiga kali.
Setelah siraman, ibu mertua dari calon ibu jabang bayi kemudian menyiramkan air kendi yang dimaksudkan untuk penyucian diri. Setelah itu, kendi tersebut lalu dipecah oleh calon nenek dari kedua belah pihak.
Setelah siraman, calon ibu kemudian mengenakan kain berlapis tujuh warna. Warna putih melambangkan sikap suci, warna merah melambangkan keberanian, hijau adalah lambang kebijaksanaan, kuning lambang Ketuhanan, biru lambang kesetiaan, ungu melambangkan kharisma dan hitam adalah lambang keabadian.
Setelah mengenakan kain tujuh lapis kemudian calon ayah bayi membawa teropong atau alat tenun. Ibu mertua kemudian memasukkan teropong itu ke dalam kain lapis tujuh warna yang dikenakan calon ibu tadi. Prosesi ini berisi pengharapan supaya saat prosesi kelahiran nanti bisa berjalan lancar dan sempurna.
Berikutnya adalah prosesi ganti busana tujuh kali. Dalam acara ganti busana ini calon ibu dipakaikan kain dan kebaya tujuh macam. Setiap kali calon ibu itu dipakaikan kain dan kebaya kemudian suaminya bertanya kepada tamu undangan yang hadir apakah kain tersebut pantas dikenakan oleh istrinya. Para tamu pun menjawab “dereng pantes” atau belum pantas. Kain dan kebaya yang pertama sampai yang ke enam merupakan busana yang menunjukkan kemewahan. Sampai akhirnya kebaya dan kain ke tujuh yang dikenakan yaitu kain lurik barulah para tamu menjawab “pantes’ atau pantas. Kain lurik memang terlihat sederhana tetapi justru kain itulah yang membuat pantas pemakainya. Hal ini melambangkan bahwa calon ibu yang sedang mengandung hendaknya tidak memikirkan hal yang sifatnya keduniawian tetapi sebaiknya berpenampilan sederhana. “Makna dari mengenakan kain tujuh macam adalah orang hidup itu hendaknya tidak hanya mencari gebyarnya saja tetapi lahir batin juga harus siap,” kata Tienuk Rifky.
Setelah prosesi ganti busana tujuh kali calon ibu itu kemudian perutnya diikat dengan janur kuning. Janur kuning yang dililitkan di perut calon ibu itu kemudian dipotong oleh calon ayah bayi dengan menggunakan keris yang pucuknya dilapisi kunyit sebagai tolak bala. Setelah memotong ikatan janur calon ayah kemudian mundur dan berlari kencang menuju keluar. Prosesi ini melambangkan supaya tidak ada yang menjadi penghalang saat lahirnya jabang bayi kelak dan semoga di dalam proses persalinan diberikan kelancaran.
Prosesi berikutnya adalah brojolan. Dalam prosesi brojolan ini dua buah cengkir gading yang telah diberi gambar Bethara Kamajaya dan Dewi Ratih kemudian dimasukkan ke perut calon ibu oleh Calon nenek dari kedua belah pihak. Hal ini berisi harapan supaya calon jabang bayi baik laki-laki maupun perempuan bisa lahir dengan selamat dan sentosa. Apabila lahir laki-laki diharapkan ketampanan dan sifatnya akan seperti Bethara Kamajaya dan apabila lahir perempuan maka akan seperti Dewi Ratih.
Setelah prosesi brojolan calon ibu kemudian melakukan prosesi angrem seperti layaknya ayam betina yang sedang mengerami telur. Dalam prosesi ini calon ibu duduk di atas tumpukan kain yang sebelumnya digunakan untuk prosesi ganti busana. Hal ini merupakan harapan supaya calon jabang bayi lahir cukup bulan atau sesuai waktunya.
Prosesi angrem dilanjutkan dengan dhahar kembul. Di sini calon ayah berada di sisi istrinya yang sedang angrem. Calon ayah kemudian mengambilkan makanan yang telah disediakan. Mereka berdua kemudian makan bersama. Makna dari dhahar kembul adalah supaya plasenta jabang bayi menjadi sehat sehingga bisa tumbuh sempurna.
Upacara mitoni merupakan adat istiadat Jawa yang masih relevan diterapkan dalam kehidupan masyarakat saat ini. Dalam upacara ini terkandung harapan agar calon ibu diberikan kelancaran mulai dari saat mengandung hingga proses kelahiran. Melalui upacara ini juga terkandung harapan agar bayi yang lahir bisa menjadi anak yang sholeh, berbakti kepada orangtua dan berguna bagi nusa dan bangsa. Upacara adat mitoni dipercaya berawal pada jaman Jayabaya dan diwariskan secara turun temurun hingga sekarang.
Sebagai bentuk pelestarian dari upacara mitoni maka keluarga besar GBPH.H. Prabukusumo menyelenggarakan upacara mitoni untuk putri menantunya. Ubarampe yang disiapkan untuk penyelenggaraan upacara ini disajikan secara lengkap karena adat ini harus dipertahankan betul. “Jangan sampai ada sesaji yang kurang, sehingga harapan ke depan anak-anak yang betul-betul kita perlakukan dengan adat istiadat yang baik insyaallah akan menjadi anak yang baik,” tandas Gusti Prabu. (Rum) Sumber: Adiluhung, selasa 31/10/17).