Share this with friends
Nov
23
Sleman, JOGJA TV| Peran guru atau pendidikan di sekolah saat ini masih dipandang monoton. Kritik tersebut dilontarkan oleh presiden Joko Widodo baru-baru ini. Guru tidak menyadari realita yang dihadapi bahwa anak-anak yang berada di bangku sekolah saat ini adalah generasi Z. Ciri generasi ini adalah kritis, suka keterbukaan dan akrab dengan teknologi. Oleh karena itu, agar dapat melayani siswanya dengan baik maka guru harus belajar menggunakan teknologi untuk pembelajaran di dalam kelas. “Teknologi bukan untuk disingkiri tetapi teknologi itu demi manusia,” kata Guru Kolese De Britto Yogyakarta, St Kartono dalam kesempatan dialog Winasis, edisi kamis 16/11/17 di Studio Jogjatv.
Lebih lanjut St Kartono mengatakan profesi guru bukanlah manual worker akan tetapi guru adalah orang yang bekerja dengan antusiasme dan motivasi untuk mendidik dan melayani siswa dengan baik. Hal ini seringkali tidak dipahami oleh guru sehingga menyebabkan sistim pembelajaran di sekolah tidak berkembang.
Terkait kritik Presiden Joko Widodo yang mengatakan bahwa sistim pembelajaran di sekolah dipandang monoton menurut Penasehat Dewan Pendidikan DIY, Prof. Wuryadi, MS hal itu dikarenakan para guru masih menggunakan prinsip teacher centre. Prinsip ini menekankan bahwa guru merupakan sosok yang paling tahu terkait ilmu yang diajarkan sehingga guru mendominasi di dalam kelas sedangkan siswa hanya sebagai pendengar dan tidak dilibatkan di dalam pembelajaran. Teacher centre sudah tidak relevan lagi diterapkan dalam pembelajaran era sekarang apalagi murid-murid yang dihadapi saat ini merupakan generasi Z yang memiliki ciri dasar kritis, terbuka dan lekat dengan teknologi.
Oleh karena itu, untuk membenahi sistim pembelajaran di dalam kelas agar berkembang maka prinsip teacher centre harus direformasi menjadi student centre. Dalam prinsip student centre guru tidak mendominasi di dalam kelas tetapi justru siswa didorong untuk berpikir dan menyampaikan pendapatnya. Dengan cara ini maka siswa akan merasa terpenuhi haknya sebagai peserta didik.
Sistim pembelajaran Student centre diadopsi dari Belanda yang kemudian oleh Ki Hajar Dewantara dikembangkan menjadi sistim among di Tamansiswa. Dalam hal ini guru tidak melulu di depan kelas dan merasa seolah-olah paling tahu tentang ilmu yang diajarkan tetapi guru berada di belakang mengarahkan siswanya atau disebut tut wuri handayani.
Guru di era generasi Z dituntut untuk terbuka dan mau menerima kritik dari siswa karena memang ciri generasi Z adalah lebih suka mengikuti kehendak pribadinya. “Kalau pribadinya menginginkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang dikehendaki guru maka terjadilah konflik,” kata Prof. Wuryadi.
Kondisi tersebut harus disadari oleh para pendidik. Untuk itu guru harus mendefinisi ulang tentang pekerjaannya. “Guru harus mulai sadar tentang siapa yang dilayani dan di jaman apa sekarang ini,” kata St Kartono.
Guru harus siap membaca anak-anak jaman sekarang. Di samping itu, guru juga perlu untuk terus membuka diri dan memurnikan motivasi keguruan agar pendidikan bisa berkembang. Terkait soal mendidik siswa sebenarnya bukan hanya menjadi tanggung jawab guru tetapi menjadi tanggung jawa bersama antara guru, orangtua murid dan masyarakat. Tiga hal ini merupakan tripusat pendidikan yang menentukan keberhasilan siswa.
Profesor Wuryadi juga berpandangan bahwa guru berperan sebagai klarifikator dan konfirmator. Oleh karena itu, guru harus menguasai ilmunya karena tidak mungkin seorang guru bisa memberikan klarifikasi dan konfirmasi jika ia tidak menguasai bidangnya.
Untuk mendorong guru agar meningkatkan kemampuannya maka pemerintah mengalokasikan dana sertifikasi untuk guru. Namun sayangnya dana sertifikasi itu tidak dipakai untuk meningkatkan kompetensi keilmuan guru tetapi lebih banyak dimanfaatkan untuk kesejahteraan guru. Kondisi ini yang dikritik oleh beberapa kalangan termasuk Penasehat Dewan Pendidikan DIY, Prof. Wuryadi.
Terkait sertifikasi yang tidak dimanfaatkan untuk meningkatkan kemampuan guru ternyata juga dibenarkan oleh Guru Kolese De Brito Yogyakarta, St. Kartono. Menurutnya dana sertifikasi itu tidak harus dihentikan tetapi perlu dikontrol oleh pemerintah. Di satu sisi, guru yang menerima sertifikasi juga harus didorong kesadarannya bahwa dana tersebut diberikan untuk meningkatkan kompetensi bukan hanya untuk kesejahteraan pribadi.
Demi terwujudnya pendidikan yang berkembang maka guru perlu memahami konteks jaman. Guru harus membekali diri dengan berbagai pengetahuan termasuk melibatkan teknologi di setiap pembelajaran sehingga murid tidak akan merasa tersingkir dari jamannya. (Rum) Sumber: Winasis, kamis 16/11/17)