Upacara Tumbuk Ageng
Yogyakarta, JOGJA TV| Dari sekian jenis upacara adat yang ada di dalam budaya Jawa, terdapat salah satu upacara adat yang kini sudah jarang dilakukan oleh masyarakat Jawa, yaitu upacara Tumbuk Ageng. Upacara tumbuk ageng diselenggarakan pada saat seseorang telah memasuki usia 8 windu atau 64 tahun. Dalam upacara tumbuk ageng terdapat tradisi congkokan yang dimaksudkan untuk memperpanjang usia seseorang, karena biasanya orang yang telah berumur senja sudah dekat dengan kematian. Oleh karena itu, perlu dicongkoki agar dapat memperpanjang usia.
Guna melestarikan upacara tumbuk ageng yang kian punah di tengah masyarakat pendukungnya, keluarga besar Endang Sujonoworo menggelar upacara tumbuk ageng bertempat di kediamannya, beberapa waktu lalu.
Endang Sujonoworo menyelenggarakan upacara tumbuk ageng bertepatan pada saat hari kelahirannya dan genap usianya yang ke 78 tahun masehi atau 80 tahun Jawa. Tumbuk ageng memang harus diselenggarakan pada saat usia seseorang mencapai 8 windu. Satu windu sama dengan 8 tahun. Dengan demikian, 8 windu berarti 64 tahun. Meski demikian, penyelenggaraan upacara tumbuk ageng tidak mesti dilaksanakan pada saat usia seseorang tepat 8 windu tetapi dapat pula dilakukan pada saat usia 10 windu atau 80 tahun. Seperti halnya yang dilakukan oleh Endang Sujonoworo. Endang Sujonoworo mengadakan upacara tumbuk ageng ketika usianya telah mencapai 10 windu atau 80 tahun dalam hitungan Jawa.
Dalam upacara tumbuk ageng terdapat tradisi congkokan yang dilambangkan dengan tumpeng yang dikelilingi tebu wulung. Tebu wulung yang dipakai sebagai congkok atau tiang penyangga pada tumpeng dimaksudkan supaya tumpengnya kuat. Sedangkan tumpeng sendiri diartikan sebagai cita-cita orang yang bersangkutan supaya sampai di atas.
“Makna arti congkokan itu adalah nyongkoki saya biar saya itu kuat. Dimana adanya tumpeng yang ada congkoknya tebu wulung. Supaya tumpeng itu kuat. Tumpeng itu merupakan cita-cita saya sampai di atas”, papar Endang Sujonoworo.
Tebu wulung yang disiapkan untuk congkokan jumlahnya disesuaikan dengan usia orang yang bersangkutan. Misalnya usia orang tersebut 80 tahun maka tebu wulung yang disajikan sebanyak 80 buah. Namun karena dirasa terlalu banyak maka jumlah tebu wulung disederhanakan menjadi 8 buah yang artinya satu tebu wulung dianggap mewakili 10 tahun.
Disamping tumpeng dan tebu wulung ubarampe yang perlu disiapkan dalam upacara tumbuk ageng yaitu jenang manca warna sejumlah 11 warna, antaralain jenang baro-baro, jenang putih merah, merah tumpang putih, putih tumpang merah, palang sisip, plirit dan sebagainya.
Jenang merah putih melambangkan bersatunya laki-laki dan perempuan hingga melahirkan keturunan. Jenang putih melambangkan laki-laki dan jenang merah melambangkan perempuan. “itu memang arti daripada nenek moyang kita dulu,” kata Endang.
Ubarampe lainnya meliputi nasi gudangan, tumpeng nasi kuning lengkap dengan lauk pauk, pisang sanggan, ingkung ayam dan jajan pasar.
Prosesi upacara tumbuk ageng diawali dengan orang yang bersangkutan (Endang Sujonoworo) berjalan ke luar dengan dituntun oleh anak-anaknya. Sesampainya di luar dia duduk di depan anak cucunya kemudian memberikan petuah atau nasehat hidup bagi anak keturunan dan menantunya.
“Eyang mohon semuanya harus saling sayang menyayangi. Kalau ketemu ya saling menyapa kemudian saling menghargai dan menghormati. Dan jangan iri dengan saudara yang lain. Eyang mohon semuanya sehat dan tidak ada halangan suatu apa. Eyang memohong kepada Tuhan Yang Maha Esa agar anak, mantu, putu, buyut itu besok hidup untuk bangsa dan negara,” papar Endang.
Setelah selesai memberikan nasehat hidup untuk anak cucu kemudian dilanjutkan dengan prosesi sungkeman sebagai wujud hormat anak kepada orangtua. Sungkeman memiliki arti sebagai permohonan maaf anak kepada orangtuanya yang selama ini telah mengasuhnya sejak dalam kandungan hingga mengantarkannya ke jenjang pernikahan. Selain itu, sungkeman juga memohon doa restu kepada orangtua agar hidupnya senantiasa bahagia.
Sungkeman merupakan prosesi penutup dalam congkokan. Berikutnya dilanjutkan dengan tradisi angon putu. Dalam tradisi budaya Jawa angon putu sebetulnya dilakukan jika seseorang sudah memiliki cucu sebanyak 25 orang maka harus dingon atau digembala di pasar. Dalam tradisi angon putu ini si eyang memberikan uang kepada anak cucunya agar dipakai untuk membeli barang kebutuhan di pasar. Uang yang diberikan boleh dipakai untuk membeli apa saja dengan catatan harus pas dan tidak boleh kurang. Apabila uangnya sisa tidak perlu dikembalikan tetapi kalau kurang tidak boleh meminta.
Tradisi angon putu diadopsi dari tradisi angon bebek atau menggembala bebek. Orang yang menggembala bebek biasanya memakai caping dan menggunakan pecut. Oleh karena itu, dalam tradisi angon putu si eyang memakai caping dan membawa pecut untuk mecut anak cucunya supaya mereka segera membelanjakan uang pemberiannya.
Tradisi angon putu tersebut dilakukan di Pasar Kranggan Kota Yogyakarta. Seluruh anak, mantu, cucu dan cicit dikumpulkan di pasar dan mereka membeli barang yang mereka dibutuhkan, tidak asal beli. Barang yang dibeli tersebut kemudian dicek satu persatu.
Beberapa di antaranya ada yang membeli buku dan alat tulis. Hal ini menunjukkan bahwa anak tersebut punya cita-cita yang tinggi dalam dunia pendidikan. Selain itu, ada yang membeli beras. Hal ini berarti anak tersebut betul-betul bertanggung jawab untuk keluarganya. Disamping itu, juga ada yang membeli telur. Ini menunjukkan bahwa anak tersebut sukanya makan yang enak-enak. Ada pula yang membeli tempe. Ini menunjukkan bahwa hidupnya sangat sederhana sekali. Dari apa yang telah dibeli tersebut bisa dinilai tentang apa yang menjadi cita-cita anak cucunya.
Angon putu bermakna sebagai ungkapan rasa syukur karena telah diberi umur panjang oleh Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karenya, si eyang ingin menyenangkan anak cucunya agar mereka bahagia. Ternyata tidak hanya anak cucu saja yang dibuat senang hatinya namun beberapa buruh gendong dan petugas kebersihan di pasar Kranggan juga diberikan uang tali asih sebagai wujud kepedulian terhadap sesama.
Harapan dari dilaksanakannya upacara tumbuk ageng bagi Endang Sujonoworo adalah agar seluruh anak keturunannya bisa hidup bahagia dan menjadi orang yang berguna bagi nusa dan bangsa.
Upacara tumbuk ageng merupakan upacara adat Jawa yang kurang populer dibandingkan upacara daur hidup lainnya seperti upacara kelahiran, sunatan, pernikahan maupun upacara kematian. Upacara tumbuk ageng kian hilang ditelan jaman padahal sebetulnya makna dari upacara tumbuk ageng sangat baik sehingga pantas untuk dilestarikan. (Rum) Sumber: Adiluhung, selasa 17/10/17)
2 Likes