Upacara Metatah Menandai Masa Kedewasaan Anak
Bantul, JOGJA TV| Dalam ajaran agama Hindu setiap anak yang memasuki masa akil balik menuju kedewasaan disambut dengan upacara Metatah atau potong gigi. Upacara Metatah atau sering disebut Mapandes merupakan salah satu dari lima yadnya yang ada dalam ajaran agama Hindu. Kelima yadnya tersebut meliputi Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, Manusa Yadnya, Resi Yadnya dan Bhuta Yadnya. Upacara potong gigi termasuk jenis Manusa Yadnya yaitu pengorbanan suci demi kesempurnaan hidup manusia. Upacara Metatah dilakukan secara simbolis dengan memotong empat gigi seri dan dua gigi taring. Makna dari upacara potong gigi ini adalah sebagai simbol untuk mengendalikan sad ripu atau enam musuh hawa nafsu yang ada dalam diri setiap manusia. Keenam musuh atau sad ripu yang ada dalam diri manusia itu meliputi Kama yaitu sifat nafsu indriya, Lobha adalah sifat serakah, Krodha adalah sifat kejam dan pemarah, Mada adalah sifat mabuk dan kegilaan, Moha adalah sifat bingung dan angkuh, dan Matsarya adalah sifat iri dengki.
Masa akil balik seorang anak ditandai dengan ciri fisik berupa menstruasi pertama pada anak perempuan dan perubahan suara pada anak laki-laki. Ciri-ciri tersebut menjadi pertanda bahwa anak sudah mulai menuju masa kedewasaan sehingga wajib dilakukan upacara metatah. Pelaksanaan Metatah tidak harus dilakukan segera mungkin ketika anak sudah memasuki akil balik tetapi pelaksanaannya bisa ditunda sesuai dengan kesiapan finansial orangtua. Oleh karena itu, untuk menghemat biaya, upacara Metatah dapat dilakukan secara bersama-sama.
Pelaksanaan Metatah merupakan bentuk tanggung jawab orangtua kepada anaknya untuk meningkatkan jati diri anak agar menjadi manusia yang berguna. Untuk melaksanakan upacara Metatah dapat dilakukan secara bersama-sama untuk menghemat biaya. Seperti yang terlihat di Pura Jagatnatha, Banguntapan Bantul, beberapa waktu lalu. Dalam rangka menyambut ulang tahun kali pertama, Yayasan Lentera Bhuana Jingga menggelar serangkaian kegiatan sosial. Salah satunya adalah menggelar upacara Metatah yang diikuti oleh 27 peserta berasal dari wilayah Yogyakarta. Ketua Yayasan Lentera Bhuana Jingga, Ketut Muwaranata mengatakan Yayasan yang ia pimpin sengaja menggelar upacara Metatah karena upacara Metatah wajib dilakukan oleh umat Hindu, namun sayangnya di Yogyakarta wahana untuk kegiatan ini sangat jarang dilakukan dan hampir tidak ada. Sehingga Yayasan Lentera Bhuana Jingga menggelar kegiatan Metatah sebagai bentuk kepedulian kepada umat Hindu di Yogyakarta.
Sesaji untuk melaksanakan upacara Metatah tergantung dari kemampuan orang yang punya hajat. Dalam tradisi Hindu sendiri ada tingkatan-tingkatan upacara, meliputi tingkat uttama, nistha dan madhya. Sedangkan pelaksanaan upacara Metatah yang difasilitasi oleh Yayasan Lentera Bhuana Jingga itu adalah termasuk madhya yaitu tingkat yang sederhana.
Ketua Panitia, I Wayan Suweta menjelaskan prosesi Metatah diawali dengan upacara Raja Swala atau Raja Singa atau upacara Menek Kelih yaitu makan malam secara bersama-sama. Kemudian pada pagi harinya dilakukan upacara Mabyakala dan dilanjutkan dengan upacara Matur Piuning yaitu persembahyangan untuk memohon kepada Tuhan agar seluruh proses upacara berjalan dengan baik dan lancar. Kemudian dilanjutkan dengan upacara persembahyangan di Bale Gading. Bale Gading adalah simbol dari Dewa Smara dan Ratih. Setelah itu, baru dilakukan upacara Metatah.
Metatah dilakukan oleh seorang sangging yaitu orang yang bertugas memotong gigi. Adapun pelaksanaan upacara Metatah di Pura Jagadnatha dilakukan oleh tiga orang sangging. Mereka bertugas mengasah empat gigi seri dan dua buah gigi taring dari 27 peserta.
Sebelum dilakukan proses metatah para peserta terlebih dahulu dirajah dengan aksara-aksara suci dan setelah itu baru kemudian ditatah. Pada saat merajah ini Sangging akan menggosokan semacam batu mulia kepada peserta yaitu meliputi bagian dahi, gigi, lindah, dan dada. Dalam hal ini Sangging bertindak sebagai wakil dari Sang Hyang Widhi Wasa, sehingga aksara suci itu adalah simbol dari Tuhan Yang Maha Esa. “Jadi aksara itu adalah simbol-simbol dari Tuhan Sang Hyang Widhi Wasa,” kata sangging, Ida Made Panji.
Secara teknis, Ida Made Panji mengatakan metatah paling tidak dilakukan tiga kali. Pertama adalah pahat yaitu menghilangkan, kemudian kikir yaitu membersihkan, dan pengilap adalah untuk menghaluskan gigi supaya tidak tajam.
Setelah selesai melalui proses metatah peserta kemudian turun dari tempat petatahan dan berjalan ke hilir dengan menginjak banten paningkep.
Untuk menjaga agar gigi tidak terasa ngilu dan rusak maka setelah ditatah para peserta dianjurkan untuk puasa sampai sore. “Maka setelah metatah itu puasa sampai sore,” kata Ida Made Panji.
Usai melaksanakan upacara Metatah prosesi dilanjutkan dengan upacara Mejaya-jaya yaitu persembahyangan yang dipimpin oleh Ratu Bhagawan putra Manuaba.
Setelah persembahyangan semua peserta melakukan sungkeman kepada orangtua masing-masing. Sungkeman ini sebagai wujud bakti anak kepada orangtuanya.
Rangkaian upacara Metatah ditutup dengan pentas seni tari Bali yang diperagakan oleh anak-anak dari Pasraman Padma Bhuana Saraswati Yogyakarta. Pentas seni tari ini menjadi hiburan tersendiri bagi para peserta beserta keluarganya.
Metatah menjadi penanda kedewasaan seseorang. Setelah selesai mengikuti proses upacara Metatah seluruh peserta diharapkan akan menjadi umat Hindu yang sempurna untuk melanjutkan ke tahap kehidupan berikutnya dengan selalu menjaga diri dengan baik dan mengendalikan hawa nafsu.
Salah satu peserta Metatah, Ni Putu Ratih Kumala Dewi mengaku bahagia setelah melalui tahap Metatah. “Ya inilah saya sebagai Hindu sudah selesai dan dewasa. Semoga ke depannya menjadi manusia yang lebih baik lagi kemudian bisa lebih mengendalikan diri, karena intinya sad ripu, kita bisa mengendalikan enam musuh dalam diri kita sendiri, “ungkapnya.
Upacara Metatah termasuk jenis upacara Manusa Yadnya yaitu pengorbanan suci demi kesempurnaan hidup manusia. Metatah menjadi tanggung jawab orangtua kepada anaknya karena dalam konsep ajaran Hindu anak adalah keturunan leluhur sehingga setiap orangtua yang punya anak wajib membayar hutang kepada leluhurnya, yaitu dengan melaksanakan metatah untuk meningkatkan jati diri anaknya. Itulah sebenarnya yang disebut dengan Metatah. “Jadi Metatah itu untuk menghilangkan mala atau musuh kekotoran yang ada di dalam diri manusia,” kata Ida Made Panji.
Metatah wajib dilakukan oleh setiap umat Hindu yang masih berada dalam tahap Brahmacari. Metatah menjadi tonggak untuk melanjutkan tahapan kehidupan berikutnya, yaitu Grhasta atau tahap berumah tangga.
Dalam agama Hindu dikenal ada empat tahap kehidupan manusia, meliputi 1) Brahmacari yaitu tingkat hidup bagi orang-orang yang sedang menuntut ilmu pengetahuan, 2) Grhasta yaitu tahap berumah tangga, 3) Wanaprastha yaitu tahap untuk mulai melepaskan segala kewajiban dalam berumah tangga. Pada tahap ini orang sudah mulai mendalami arti hidup yang sebenarnya dan biasanya dilakukan dengan cara pergi ke tempat terpencil untuk melakukan meditasi. 4) Sanyasin atau Bhiksuka. Orang yang telah memasuki tahap Bhiksuka akan melepaskan semua miliknya. Ia akan memilih hidup sendiri dan menghabiskan waktu untuk bermeditasi. Seorang Bhiksuka sudah tidak tertarik lagi dengan kehidupan duniawi sehingga bebas dari segala belenggu nafsu.
Upacara Metatah yang baru kali pertama di gelar di Yogyakarta ini diharapkan bisa menjadi awal untuk selanjutnya umat Hindu bisa melakukan Yadnya dengan mudah. Selama ini kegiatan-kegiatan upacara dalam agama Hindu terkesan selalu mahal dan sulit dilakukan. “Kita menyesuaikan dengan desa, kala, patra situasi yang ada di Yogyakarta tanpa menghilangkan makna dari upacara itu sendiri,” kata I Wayan Suweta. (Rum) Sumber: Adiluhung, selasa 12/09/17)
Likes