Upacara Adat Saparan Bekakak
Sleman, JOGJATV| Bagi warga Desa Ambarketawang, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman bulan sapar dianggap sebagai bulan penuh makna. Setiap bulan sapar tiba warga desa setempat rutin menggelar upacara adat saparan bekakak bertempat di gunung gamping. Upacara adat diadakan pada hari jumat kliwon antara tanggal 10-20 dalam penanggalan Jawa.
Legenda atau mitos selalu erat dengan upacara adat yang digelar oleh suatu masyarakat. Tak terkecuali upacara adat saparan bekakak yang menjadi warisan budaya turun temurun dari masyarakat desa Ambarketawang, Gamping, Sleman. Setiap bulan sapar utamanya pada hari jumat kliwon mereka menggelar upacara selamatan dengan menyembelih sepasang pengantin boneka atau disebut bekakak. Upacara ini merupakan symbol doa agar warga Gamping senantiasa diberikan keselamatan dan diajauhkan dari segala bentuk malapetaka.
Menurut cerita masyarakat setempat upacara saparan bekakak diselenggarakan untuk menghormati sepasang suami istri yakni Kyai Wirasuta dan Nyai Wirasuta yang merupakan abdi dalem Kraton Yogyakarta pada masa kepemimpinan Sultan Hamengkubuwana I atau Pangeran Mangkubumi. Ketika Sultan Hamengkubuwana I menunggu selesainya pembangunan Kraton Yogyakarta beliau beserta para abdi dalem tinggal di Pesanggrahan Ambarketawang, Gamping, Sleman. Setelah pembangunan kraton selesai Sultan dan para abdi dalemnya kembali ke kraton. Namun tidak demikian dengan abdi dalem Kyai Wirasuta dan Nyai Wirasuta. Sepasang suami istri ini memilih untuk tetap tinggal di Pesanggrahan Sultan Hamengkubuwana I di Ambarketawang, Gamping.
Bencana pun datang tak bisa dihindari. Pada malam jumat kliwon bulan sapar gunung gamping runtuh menewaskan Kyai Wirasuta dan istrinya beserta hewan kesayangan mereka yakni landak, burung puyuh dan burung dara putih. Jasad Kyai Wirasuta dan Nyai Wirasuta tak bisa ditemukan hingga sekarang.
Kematian Kyai Wirasuta dan istrinya tersebut ternyata menyisakan cerita tersendiri bagi warga Ambarketawang Gamping. Setiap bulan sapar datang warga diresahkan dengan terjadinya musibah runtuhnya Gunung Gamping. Warga pun menyakini arwah Kyai Wirasuta dan Nyai Wirasuta masih bersemayam di Gunung Gamping. Sebagai tolak bala, Sultan pada saat itu memerintahkan warga Desa Ambarketawang untuk menggelar selamatan dengan menyembelih sepasang pengantin atau bekakak. Replika pengantin bekakak itu menggambarkan Kyai Wirasuta dan Nyai Wirasuta. Bekakak terbuat dari tepung beras ketan yang di dalamnya terdapat cairan gula merah.
Setiap kali digelar upacara saparan bekakak warga membuat sepasang bekakak dengan posisi duduk bersila. Selanjutnya bekakak tersebut diarak menuju Gunung Gamping yang diyakini warga sebagai tempat meninggalnya Kyai Wirasuta dan Nyai Wirasuta. Di tempat ini, bekakak kemudian disembelih dan diperebutkan kepada warga yang menyaksikan. Tradisi ini masih dipercayai warga sebagai ngalap berkah.
Upacara saparan bekakak masih tetap dilestarikan warga Desa Ambarketawang Gamping Sleman hingga saat ini. Bahkan ritual budaya ini mampu menjadi daya tarik wisata di Yogyakarta.
Likes