Share this with friends
Jan
01
Sleman, JOGJA TV | Masyarakat Yogyakarta belum banyak yang mengetahui bahwa kota istimewa ini mempunyai sumbu filosofi dan sumbu imajiner.Adanya kedua sumbu tersebut tidak terlepas dari keberadaan Keraton Yogyakarta yang didesain oleh Pangeran Hamengkubumi sebagai Sri Sultan Hamengkubuwono I.
Menurut Ir. Yuwono Sri Suwito, M.M dari Dinas Purbakala dan Pelestarian Warisan Budaya DIY, “sumbu filosofi berarti antara Panggung Krapyak, Keraton, dan Tugu. Sedangkan sumbu imajiner berarti antara Laut Selatan, Keraton, dan Gunung Merapi. Alasan disebut sebagai sumbu imajiner karena sumbunya tidak nyata atau hanya imajinasi”. Lain halnya dengan sumbu filosofi yang sumbunya nyata berupa jalan atau dapat dilihat bahwa Keraton Yogyakarta diapit enam sungai yaitu sebelah timur dan sebelah barat, di sebelah selatan terdapat Laut Selatan, dan disebelah utara terdapat Gunung Merapi yang menandakan bahwa Keraton Yogyakarta berada pada daerah dataran yang disucikan. Tanah seperti ini biasanya dalam kosmogunagama hanya untuk bangunan suci, tetapi di Yogyakarta ditujukan untuk Keraton. Oleh karena itu, tidak aneh bila Keraton Jogja dalam bahasa wayang berarti gedhe obore, padhang jagade, dhuwur kukuse, adoh kuncarane. Artinya inilah negara yang besar kekuasaannya, terang benderang dunianya, menjulang tinggi kemasyhurannya, dan tersohor sampai jauh.
Sumbu filosofi antara Tugu, Keraton, dan Panggung Krapyak memiliki konsep sangkan paraning dumadi dimana terdapat dua sebutan yaitu sangkaning dumadi untuk sebutan dari Panggung Krapyak ke Keraton kemudian paraning dumadi untuk sebutan dari Tugu ke Keraton. Keraton Yogyakarta terdapat lampu yang tidak pernah padam sejak Hamengkubuwono pertama disemayamkan di gedung Proboyekso. Lampu ini disebut lampu Kyai Wiji yang melambangkan keabadian. Oleh karena itu, filosofi tersebut muncul di Keraton Yogyakarta.
Kemudian sumbu imajiner yaitu Laut Selatan, Keraton, dan Gunung Merapi merupakan konsepsi manunggaling kawulo gusti dan konsepsi hamemayu hayuning bawono. Hal ini yang menjadi penanda keistimewaan Yogyakarta secara intangible (tak terukur). Salah satunya adalah hamemayu hayuning bawono yang bermakna membuat dunia menjadi indah dan lestari.
Hubungan Laut Selatan dengan Keraton disebut hubungan manusia dengan alam. Kemudian, hubungan Keraton dan sekitarnya disebut hubungan manusia dengan manusia (hablumminannas). Dan hubungan Keraton dengan Gunung Merapi disebut hubungan manusia dengan Tuhannya (hablumminallah). Filosofi Keraton Yogyakarta inilah yang disebut sebagai embrio Kota Yogyakarta. Oleh sebab itu mengapa sumbu filosfi ini pantas diajukan ke UNESCO sebagai warisan budaya sebab memenuhi salah satu syarat bahwa sumbu filosofi merupakan masterpiece yang tidak ada duanya di dunia.
Mengajukan sumbu filosofi menjadi warisan budaya sudah lama dilakukan dengan persiapan yang cukup panjang. Sejatinya sumbu filosofi telah memenuhi tiga dari sepuluh kriteria UNESCO. Salah satunya ialah mahakarya kejeniusan seseorang yang kemudian bisa dinikmati dari sekarang hingga nanti dan tidak pernah ada habisnya. Semua penuh dengan ajaran dan nilai-nilai penting yang harus dilestarikan, diabadikan, dicegah dari kerusakan, dan diamankan keasliannya sampai kapanpun.
“Ternyata dari 10 kriteria UOV (Universal of Sending Value) UNESCO terdapat tiga kriteria yang masuk. Tiga kriteria itu kita coba usulkan dan kemudian bentuk tim perumus. .Alhamdulillah April 2017 kita masuk dalam daftarnya. Progressnya sebentar lagi ada tim monitoring supervisi dari UNESCO dan yang dituju adalah Mr. Richard dari UNESCO Thailand. Nanti pertengahan Agustus datang kesini untuk melihat” jelas Singgih Raharjo selaku Wakil Kepala Dinas Kebudayaan DIY terkait pengajuan sumbu filosofi ke UNESCO.
Sembari itu, penting bagi seluruh komponen masyarakat Yogyakarta yang berada di sumbu filosofi untuk mengetahui bahwa terdapat sumbu filosofi dan sumbu imajiner di Kota Yogyakarta ini. Oleh karena itu sosialisasi terus dilakukan, sehingga tidak hanya bangunan cagar budayanya saja yang diunggulkan tetapi juga nilai-nilai filosofis yang ada di sumbu filosofi pun harus meresap ke jiwa masyarakat dan menjadi patron di kawasan tersebut. Hal ini akan menjadi kebanggan bersama nantinya.
Menurut Dr. Didik Purwadi, M.Sc selaku Asisten Keistimewaan DIY, sebutan Kota Jogjakarta Istimewa telah hadir sejak pada tahun 1950 yang dijelaskan pada undang-undang no.3 ditahun 1950, bahwa pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta itu setingkat dengan provinsi, maka tidak disebutkan provinsi Yogyakarta, melainkan Daerah Istimewa Yogyakarta. Isi dari pernyataan tersebut telah diperjelas masyarakat bersama semua komponen yang bermuara pada undang-undang keistimewaan, yakni UU no 13 tahun 2012. Tujuannya adalah dengan keistimewaan ini dapat mewujudkan pemerintah yang demokratis dan baik, meningkatkan kesejahteraan dan ketentraman, mewujudkan tatanan kepemerintahan dan tatanan sosial yang berkebhinekaan, menjaga peran dan tanggung jawab kesultanan dan kadipaten pakualaman serta mengembangkan kebudayaan Yogyakarta sebagai bagian dari kekayaan bangsa. Kemudian mengingat bahwa kota Jogja tempat masyarakat dari beragam suku, maka tidak heran jika Jogja dikatakan sebagai miniatur Indonesia.
Akhirnya pemerintah pusat melalui undang-undang keistimewaan menyebutkan ada lima keistimewaan atau ruang lingkup, yang pertama adalah penetapan gubernur, calon gubernur adalah Sri Sultan Hamengkubuwono yang bertahta dan calon wakil gubernur adalah Sri Paduka Pakualaman yang bertahta. Kedua adalah kelembagaan yang berbeda dengan lainnya, semisal memiliki organ penasehat yang dinamakan Parampara praja, berisi orang-orang terpilih yang memberikan nasehat dan saran diminta maupun tidak. Ketiga yakni mempunyai sebuah kebudayaan yaitu kebudayaan Yogyakarta. Keempat adalah pertanahan, yakni tanah sultan ground dan pakualaman ground, dan terakhir adalah urusan tata ruang. Urusan tata ruang inilah yang berkaitan dengan sumbu filosofi, dimana tata ruang sumbu filosofi merupakan satuan ruang strategis keistimewaan.
Perdais (Peraturan Daerah Istimewa) sebagai norma budaya. Kebudayaan dimaknai seperti membangun peradaban. Konsep kebudayaan yakni mulai dari pelestarian, perkembangan, dan pemanfaatan. Sehingga membangun kebudayaan itu sebagai ruhnya sebagaimana membangun DIY.
Sukamto, SH. MH, Kepala Biro Administrasi Pembangunan Setda DIY menjelaskan bahwa satuan ruang strategis itu salah satu dari 18 ruang strategis ditanah kadipaten. Satuan ruang strategis diartikan sebagai satuan ruang strategis yang mempunyai nilai filosofis, historis, adat dan budaya yang mempunyai pengaruh yang sangat penting dalam hal pelestarian budaya, kepentingan sosial, dan kesejahteraan masyarakat termasuk kelestarian budaya.
Vegetasi perkampungan juga memiliki makna berhubungan dengan sumbu filosofi, satu hal yang membedakan kampung satu dengan lainnya. Jika vegetasi kampung lain melihat dari sisi teknis dan fungsi saja, maka jogja memiliki sisi filosofisnya. Misal, dari Tugu sampai ke Kilometer nol dipenuhi tanaman asem dan gayam. Jika dilihat dari sisi teknis dan fungsinya, gayam adalah tanaman sungai, tapi jika dilihat dari sisi filosofis tanaman asem berasal dari kata sengsem yang berarti tertarik, sedangkan gayam berasal dari kata ayom, jadi setiap orang ke Jogja selalu memiliki rasa tertarik karena merasa diayomi.
Pengusulan tentang sumbu filosofi ke UNESCO haruslah memenuhi minimal dua dari sepuluh kriteria. Dinas kebudayaan tidak akan berani mengusulkan sumbu filosofi tersebut bila belum memenuhi dua kriteria. Sumbu filosofi tersebut diusulkan ke UNESCO dengan judul Historial a City Center of Yogyakarta. Usulan tersebut juga didukung oleh Pemerintah DIY. Semua lapisan masyarakat dihimbau untuk bahu-membahu guna menciptakan suasana yang kondusif disekitar daerah sumbu filosofi.
Ir. Yuwono Sri Suwito, MM. atau Romo Yu dan Singgih Rahardjo mengatakan“Usulan sumbu filosofi ini juga dibatasi oleh delineasi supaya penggarapan lebih fokus. Delineasi yang semakin sempit memudahkan untuk pengusulan sesuai dengan SK Menteri yang mengatur delineasi itu cukup kecil.” Akan tetapi, Dinas Kebudayaan lebih melebarkan lagi delineasi sumbu filosofi supaya pengendalian dan pengawasan lebih mudah dilakukan. Bila usulan sumbu filosofi itu telah diterima oleh UNESCO maka harus dilestarikan bersama-sama. Jangan berhenti keberlangsungannya setelah mendapatkan sertifikat. Justru harus semakin giat menjaga kelestarian sumbu filosofi tersebut supaya tidak dicabut statusnya oleh UNESCO.
Masyarakat Yogyakarta, terutama yang berada di daerah sumbu filosofi harus memahami bahwa di Yogyakarta terdapat sumbu filosofi karena tidak jarang perwakilan dari UNESCO akan bertanya langsung kepada masyarakat. Oleh karena itu, sosialisasi sangat penting.
Romo Yu juga menambahkan informasi tentang asal muasal Tugu Yogyakarta pertama kali. Tugu Yogyakarta pertama kali adalah Tugu Golong Gilig yang melambangkan kesatuan dan persatuan (golongin cipta rasa sekar cahyani).
Tugu Golong Gilig menjadi point of view Sultan pada saat duduk di bangsal manguntur tangil. Dahulu tugu ini tingginya 25 meter. Pada 10 Juni 1756 tugu tersebut runtuh kemudian dibangun tugu yang sekarang ini menjadi landmark kota Yogyakarta. Sebenarnya bentuk tugu yang sekarang ini salah. Akan tetapi tidak dapat diubah menyerupai Tugu Golong Gilig karena sudah menjadi cagar budaya.Oleh karena itu, terdapat door diorama Tugu Golong Gilig di sebelah tenggara.
Ir. Edi Muhammad selaku perwakilan dari Pemerintah Kota Yogyakarta sangat mendukung sumbu filosofi diusulkan ke UNESCO sebagai warisan budaya dunia kerena Yogyakarta sebagai kota budaya, kota pariwisata, dan kota pendidikan. Terlebih lagi sumbu filosofi mulai dari Tugu sampai Keraton bahkan sampai ke Panggung Krapyak yang menandakan bahwa sebagian besar berada di wilayah kota Yogyakarta. Usulan sumbu filosofi ini juga telah dituangkan di dalam rencana tata ruang baik di RT, RW, maupun di Rancangan Umum Tata Ruang Kecamatan (RUTRK) sebagai kawasan cagar budaya. Wujud dukungan Pemerintah Kota DIY adalah perubahan nama jalan yang semula Jalan Mangkubumi dan Ahmad Yani menjadi Jalan Marga Utama, Marga Mulya, dan Pangurakan. Begitu pula dengan pengelolaan selama ini yakni membentuk Unit Pelaksana Teknis (UPT) di bawah Dinas Pariwisata yaitu PT. Malioboro karena telah mengelola pelaksanaan selama ini. Terlebih lagi Malioboro merupakan objek wisata yang sangat strategis. Pemkot Yogyakarta juga membentuk kelurahan-kelurahan budaya. Pemkot Yogyakarta berharap semoga usulan sumbu filosofi tersebut dapat terwujud dan terealisasi.
Dampak fisik yang terwujud nantinya dari usulan ini adalah ekonomi. Jadi, diharapkan usulan ini dapat menyejahterakan masyarakat Yogyakarta. Selain itu, dampak positif lainnya adalah menambah nilai kekhususan Yogyakarta yang tidak dimiliki daerah lain. Dukungan dari masyarakat juga diperlukan untuk menjaga dan melestarikan sumbu filosofi, salah satunya dengan mempunyai rasa memiliki.
Apabila sumbu filosofi sudah terwujud, perlu membentuk organisasi yang mengelola sumbu filosofi tersebut. Salah satu oraganisasi yang sudah terbentuk adalah sekretaris bersama satuan ruang strategis yang berjumlah delapan belas orang. Sekarang ini, Dinas Kebudayaan sedang menyiapkan organisasi yang lebih teknis. Organisasi ini nantinya yang akan mengawal sehari-hari, seperti mempunyai kantor, SDM, perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, hingga evaluasi. (Tim Jogja TV, Sumber Bincang Hari Ini, Selasa 31/07/2018).