Membangun Toleransi dalam Realitas Kebhinekaan
Sleman, JOGJA TV | Manusia adalah makhluk sosial yang tidakpernah bisa hidup sendiri. Manusia bisa menjadi manusia bila hidup dengan manusia lain. Dalam kehidupan bersosialisasi, pastilah muncul perbedaan-perbedaan. Oleh karena itu, perlu adanya hukum yang mengatur berbagai perbedaan. Hukum tersebut adalah toleransi. Toleransi adalah kesediaan untuk menerima perbedaan sehingga kehidupan dapat berjalan dengan baik.
Indonesia merupakan negara yang mempunyai tingkat perbedaan sangat tinggi. Terdiri dari 1360 suku, 726 bahasa, 5 agama, dan kepercayaan-keperayaan lokal. Keragaman ini menjadi bukti bahwa Indonesia adalah negara pluralisme. Akan tetapi, Indonesia tetap bersatu walau memiliki banyak perbedaan. Persatuan itu muncul karena adanya toleransi. Toleransi merupakan bagian dari kehidupan yang tumbuh sudah berabad-abad dari budaya nenek moyang. Budaya tersebut kemudian menjadi nilai-nilai resmi yang ada di dalam Pancasila dan “Bhineka Tunggal Ika”.
Saat ini, Indonesia menjadi sorotan dunia karena persatuan di dalam berbagai perbedaan tersebut. Indonesia bahkan pernah disebut sebagai laboratorium pluralisme karena mempunyai perbedaan terlengkap tapi tetap bersatu. Bangsa-bangsa di dunia juga ingin bersatu walau mempunyai banyak perbedaan. Berbagai bangsa di dunia sedang mempelajari cara orang Indonesia bersosialisasi di dalam perbedaan itu.
Prof. Dr. M. Amin Abdullah selaku anggota Parampara Praja DIY mengatakan bahwa sekarang ini Indonesia dan berbagai negara di dunia sedang saling berbagi bagaimana memelihara kemajemukan sehingga tercipta kebersamaan dan kedamaian tanpa harus ada konflik, meskipun godaan selalu ada.
Di tengah menjadi sorotan dunia, masyarakat Indonesia justru tumbuh sifat intoleransi (ketiadaan tenggang rasa). Ketua Parampara Praja DIY, Prof. Dr. Moh Mahfud MD, S.H., S.U mengatakan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Wahid Institut yang dipimpin oleh Yeni Wahid, diketahui sebanyak 51% penduduk Indonesia bersikap intoleran dalam hal-hal tertentu.Saat ini, Indonesia menghadapi dua gangguan, yaitu politik dan paham-paham dari luar. Gangguan politik misalnya saat pemilu. Berbagai perbedaan dimunculkan oleh seserorang atau provokator saat kampanye. Akan tetapi, setelah kampanye berakhir, perbedaan itu sudah tidak muncul lagi.
Selanjutnya gangguan paham-paham dari luar, misalnya dalam bidang ideologi muncul gerakan ISIS yang membawa paham kekerasan dari cara hidup beragama. Paham ISIS tersebut ingin mengganti ideologi dan sistem bernegara. Dua gangguan tersebut yang membuat pemerintah membentuk Badan Ideologi Pembinaan Pancasila (BIPP). BIPP adalah gerakan kesadaran untuk membangun kembali ideologi bangsa Indonesia. Pemerintah ingin masyarakat tidak hanya memliki pengetahuan saja tetapi juga memiliki kesadaran. Orang yang memiliki kesadaran pastilah tahu dan melaksanakan, sedangkan orang yang hanya tahu maka belum tentu ia akan melakukan bahkan justru bisa menyimpang.
Dilihat dari kacamata pendidikan, permasalahan intoleransi muncul karena pola pikir yang ditanamkan sejak di bangku sekolah bahwa setiap pertanyaan selalu mengarah pada satu jawaban sehingga jika ada jawaban yang bebeda maka dianggap salah. Hal ini dapat disimpulkan bahwa pikiran manusia telah terpola sejak dari kecil untuk tidak melihat perbedaan-perbedaan yang ada dalam kehidupan nyata.
Jogja sebagai tempat perantauan pelajar terbanyak, permasalahan intoleransi muncul ketika proses beradaptasi dimana budaya suatu daerah masih dibawa ke daerah Jogja yang notabene berbeda. Sehingga perlu media pendidikan dimana satu pihak memungkinkan untuk beradaptasi dan dilain pihak juga belajar menjadi toleran dengan berbagai macam keyakinan dan keanekaragaman yang ada. Guru di tingkat SD, SMP, dan SMA memiliki peran penting dalam hal ini, tentang toleransi kebhinnekaan untuk Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
Banyaknya kasus intoleransi di Yogyakarta memang membuat kekhawatiran tersendiri. Terlebih dengan predikat yang disandang Yogyakarta sebagai city of tolerance. Namun satu hal yang cukup membanggakan ialah mudahnya melokalisir setiap kasus yang terjadi sehingga tidak membuat konflik semakin melebar, dan terulang kembali.
Prof. Dr. M. Amin Abdullah, Anggota Parampara Praja DIY mengungkapkan bahwa daya tahan sosial dan daya tahan kultural masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Jogja sangat luar biasa. Hal ini penting dipertahankan di era digital yang semakin maju seperti saat ini. Perubahan teknologi terlebih adanya media sosial dimana hoax mudah sekali dibuat dan menyebar, penting bagi setiap orang untuk membangun ketahanan sosial dan ketahanan kulturaltersebut.
Secara hukum, istilah hoax sudah ada sejak tahun 1946 yakni pada undang-undang No. 1, terdapat pasal tentang larangan penyiaran berita hoax dengan ancaman hukuman sepuluh tahun masuk penjara. Pada tahun 2008, Indonesia kembali membuat undang-undang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) nomor 11 tentang informasi dan transaksi elektronik, atau teknologi informasi secara umum dengan ancaman hukuman 6 tahun penjara. Jadi jika melakukan kebohongan yang menimbulkan kebencian dalam transaksi elektronik, seperti menyinggung tentang SARA (suku, agama, dan ras antargolongan) maka terkena hukuman enam tahun penjara. Akan tetapi, bila menyiarkan berita kebohongan baik di media penyiaran maupun media sosial maka terkena hukuman UU no.1 tahun 1946 yakni sepuluh tahun penjara. Oleh karena itu, media penyiaran dihimbau untuk berhati-hati dalam menyiarkan berita. Begitu pula pengguna media sosial harus berhati-hati, jangan sampai menyebarkan berita hoax karena dapat terkena hukuman tersebut.
Kembali pada permasalahan intoleransi, dimana hal ini juga menjadi sorotan saat menjelang pemilu 2019. Politik identitas dirasa mempunyai peran lebih dalam menentukan pilihan. Tidak salah jika pemilu selalu menimbulkan kerawanan sosial, seperti halnya sekarang yakni telah muncul perang media sosial. Jika diartikan pemilu adalah sarana kongkrit dalam demokrasi. Sedangkan demokrasi sendiri ialah mekanisme atau cara untuk mengelola sebuah perbedaan.
Mengingat bahwa masyarakat sepakat untuk hidup berbeda, maka saat pemilu mendatang perbedaan yang ada dalam demokrasi dapat dimusyawarahkan dalam satu lembaga. Seperti halnya yang dikatakan oleh Prof. Dr. M. Amin Abdullah bahwa Indonesia adalah laboratorium yang baik untuk toleransi, maka boleh saja berpendapat asalkan masih dalam batas-batas tertentu.
Masalah toleransi juga muncul dalam pemahaman kultur yang ada. Seperti halnya istilah sedekah laut yang sedang trending di media sosial. Sebagian orang menganggap bahwa sedekah laut adalah istilah memanggil tsunami. Namun ada yang mengatakan bahwa hal tesebut adalah musyrik atau menyekutukan Tuhan. Ada juga yang mengatakan sebagai bentuk kearifan lokal.
Prof. Dr. M. Amin Abdullah sebagai anggota Parampara Praja DIY menyatakan bahwa melihat isu tersebut, pemahaman dalam menafsirkannya tidak dapat memilih salah satu tafsir yang paling benar dan tafsir lainnya salah. Di zaman revolusi industri ke-4 ini harus terdapat fleksibilitas kognitif yang berarti bahwa dalam berfikir apapun, baik teknologi, sosial, budaya maupun agama harus mengedepankan fleksibilitas. Cara yang dapat digunakan ialah dengan musyawarah dan mencari kesepakatan bersama. Jika hal ini dilakukan, maka timbulah rasa memahami untuk saling mengerti dan menjaga bhineka tunggal ika. Hal ini yang diharapkan oleh Bangsa Indonesia yakni sifat aktif toleran, sehingga dapat terlibat penuh dalam memahami tafsir-tafsir yang ada. (Tim Jogja TV, Sumber Bincang Hari Ini, Sabtu 13/10/2018)
2 Likes