Peragaan Busana Adat Yogyakarta
Yogyakarta, JOGJA TV| Keraton Yogyakarta menyimpan kekayaan budaya yang tak ternilai harganya. Salah satu budaya tersebut adalah busana adat keraton Yogyakarta yang bernilai estetika tinggi. Busana adat keraton menunjukkan peradaban tinggi yang dimiliki oleh Keraton Yogyakarta sebagai pusat budaya di tanah Jawa. Busana adat keraton begitu indah baik dari segi motif maupun ornamennya. Mengenakan busana adat seakan terpancar aura keanggunan pemakainya. Tak hanya indah dipandang namun busana adat memiliki pesan filosofi yang mendalam. Ini pula yang melatarbelakangi Himpunan Ahli Seni Tata Rias dan Busana Daerah (HASTANATA) Yogyakarta untuk menggelar peragaan busana adat Keraton Yogyakarta, dalam rangka memperingati ulang tahun HASTANATA ke-40. Peragaan busana adat Yogyakarta digelar di Ndalem Yudanegaran, Yogyakarta beberapa waktu lalu.
HASTANATA Yogyakarta berdiri pada tanggal 01 Maret 1978. Tahun ini genap 40 tahun atau delapan windu usia HASTANATA. Usia delapan windu tentu sangat berarti bagi sebuah paguyuban karena di usia ini terbukti bahwa paguyuban itu mampu berkiprah dengan baik di masyarakat. Ini pula yang dialami oleh Himpunan Ahli Seni Tata Rias dan Busana Daerah (HASTANATA) Yogyakarta. Di usianya yang genap delapan windu HASTANATA merayakannya dengan penuh semangat yakni dengan menggelar acara tumpengan dan peragaan busana adat Yogyakarta.
Dalam acara tumpengan tersebut juga dilakukan doa arwah oleh keluarga besar HASTANATA untuk mendoakan para empu perias yang memprakarsai berdirinya HASTANATA. Para empu tersebut adalah R.Ay Donolobo, R.Ay Sosronegoro, R.Ay Prajoko Halpito, dan R.Ay Marmin Sardjono. Para empu perias ini dahulu pernah menghadap Sri Sultan Hamengku Buwana IX untuk memohon ijin supaya tata rias keraton bisa dibawa ke luar keraton dan disebarluaskan sampai seluruh Indonesia. Sri Sultan HB IX pun mengijinkan tetapi dengan catatan harus seperti yang dipakemkan di dalam Keraton Yogyakarta.
HASTANATA berkomitmen melestarikan busana adat dan seni tata rias pengantin adat sesuai pakem yang berkembang di Keraton Yogyakarta. Hal ini untuk menetapi janji kepada Sri Sultan HB IX agar menampilkan busana adat sesuai pakem keraton Yogyakarta. “Masih diuri-uri tetap kita harus pakem dan tidak menyimpang daripada anjuran dari Sultan Hamengku Buwana IX, “kata Ketua HASTANATA DIY, Endang S Sujonoworo.
Acara peragaan busana adat di Ndalem Yudonegaran menampilkan busana kebangsawanan, busana tari dan busana kerakyatan. Acara dibuka dengan tampilan beksan sekar adi keprabon. Tarian ini menggambarkan tentang busana keprabon yang dikenakan para putri keraton. Busana yang ditampilkan berupa busana sabukwolo untuk para putri yang masih kecil, busana pinjung untuk para putri usia menjelang remaja dan busana kampuhan untuk putri remaja hingga yang sudah berkeluarga.
Setelah suguhan tarian selesai acara dilanjutkan dengan penampilan busana yang dahulu dipakai oleh para pendiri HASTANATA saat mereka sedang menggelar show. Busana itu diperagakan oleh kerabat pendiri HASTANATA.
Selain itu, juga ditampilkan busana kerakyatan yang biasa dipakai oleh para petani atau masyarakat yang tinggal di pedesaan. Busana ini merupakan pakaian harian untuk dikenakan di rumah. Untuk busana pria terdiri dari kain batik, baju surjan lurik, tutup kepala memakai iket udaran. Busana wanita terdiri dari kebaya, kemben dan batik.
Busana kerakyatan untuk acara resmi juga ditampilkan dalam peragaan busana tersebut. Busana ini biasa dikenakan oleh para pejabat desa atau warga desa untuk acara resmi, seperti menghadiri acara perkawinan atau pengangkatan pejabat desa.
Setelah itu, kemudian ditampilkan busana Hacincu yaitu busana yang dikenakan para bangsawan untuk acara sehari-hari di dalam rumah. Para putri bangsawan mengenakan busana hacincu ini untuk kegiatan sehari-hari, seperti menerima tamu di rumah, membatik, memasak dan sebagainya. Meski dikenakan oleh kaum bangsawan namun busana ini sengaja dibuat dari kain blaco dengan maksud untuk kenyamanan saat dipakai di rumah.
Ditampilkan pula busana kaum bangsawan Pakualaman. Busana ini biasa digunakan untuk acara pesiar atau anjangsana ke luar tembok Puro Pakualaman.
Kaum bangsawan biasa mengenakan busana kasatriyan untuk menghadiri acara resmi, misalnya saat menghadiri acara resmi di dalam istana maupun di tempat saudara dekat yang berdomisili di luar istana. Untuk bangsawan pria mengenakan surjan kasatriyan sedangkan untuk wanita mengenakan kebaya lis.
Busana kaum bangsawan dan keluarga. Busana ini dikenakan oleh pasangan suami istri beserta putra putrinya. Untuk pria mengenakan kasatriyan alit berupa kain batik dan baju surjan yang seragam dengan istri dan putra putrinya. Busana ini dipakai untuk menghadiri acara resmi.
Busana semekan dringin. Busana ini dipakai oleh calon pengantin putri pada saat malam midodareni semasa Sri Sultan HB VII. Busana semekan dringin sangat sederhana, hanya memakai kain batik motif truntum dan semekan dringin, tanpa memakai aksesoris kecuali subang warna hitam. Malam midodareni adalah malam tirakatan, malam instropeksi diri, malam untuk memohon keselamatan dari Tuhan agar acara pernikahan dapat terlaksana dengan lancar.
Busana semekan sindur. Busana ini dikenakan oleh putri raja yang sudah menikah untuk menghadiri acara malam midodareni. Semekan sindur dengan warna merah dan putih di bagian pinggirnya adalah melambangkan benih laki-laki dan perempuan. Sedangkan batik truntum bermakna semi atau tumbuh. Harapannya akan tumbuh kebahagiaan dan kasih sayang yang abadi.
Busana semekan sutra bleg-blegan. Busana ini dikenakan oleh para putri Sultan yang sudah menikah untuk acara tuguran atau menghadiri malam-malam sebelum upacara tertentu yang dilaksanakan di dalam keraton.
Busana coro putri. Busana ini dikenakan oleh para putri Sultan yang sudah menikah pada masa Sri Sultan HB IX dan Sri Sultan HB X. Busana ini dipakai untuk menghadiri upacara-upacara ageng di dalam keraton.
Acara peragaan busana adat Yogyakarta juga dimeriahkan dengan suguhan tari batik. Tarian ini menggambarkan proses membatik mulai dari saat masih berupa kain mori putih hingga berwujud menjadi selembar kain batik yang penuh makna. Gawangan disimbolkan sebagai alam jagad raya. Bandul simbol sejati dan canting adalah kalam utama. Sedang pola yang tergambar menjadi petunjuk manusia. Itulah sekelumit makna perjalanan batik yang berisi ajaran luhur nenek moyang.
Melalui peragaan busana kebangsawanan dan kerakyatan HASTANATA Yogyakarta berupaya untuk melestarikan busana adat Yogyakarta sesuai pakem yang ada di Keraton Yogyakarta. Busana adat saat ini sudah jarang diketahui oleh masyarakat umum padahal busana adat mengandung nilai keluhuran dan keagungan. Oleh karena itu, HASTANATA berkomitmen untuk tetap melestarikan busana adat Yogyakarta salah satunya melalui acara peragaan busana seperti itu. (Rum) Sumber: Adiluhung, selasa 17/04/2018.
Likes