HASTANATA Perkenalkan Tata Rias dan Busana Adat Kraton Yogyakarta
Yogyakarta, JOGJA TV| Sebagai pusat kebudayaan Kraton Yogyakarta memiliki kekayaan adiluhung yang perlu dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat pendukungnya. Salah satu kekayaan budaya Kraton Yogyakarta yang perlu diketahui oleh masyarakat adalah tata rias dan jenis-jenis busana adat Kraton Yogyakarta yang saat ini sudah jarang diketahui oleh masyarakat luas. Untuk itu Himpunan Ahli Seni Tata Rias dan Busana Daerah (HASTANATA) Yogyakarta beberapa waktu lalu menggelar sarasehan bertema “Kita Lestarikan Nilai Tradisi Busana Daerah Yogyakarta”. sarasehan bertempat di Aula Dinas Kebudayaan DIY. Sarasehan tersebut untuk memberikan pengertian kepada masyarakat terutama para perias di Yogyakarta terkait busana daerah Yogyakarta yang sesuai pakem Kraton Yogyakarta.
Sarasehan yang digelar dalam rangka memperingati ulang tahun Hastanata ke-39 itu disertai peragaan cara memakaikan busana adat kraton Yogyakarta sehingga masyarakat bisa mengetahui lebih detail tentang jenis-jenis busana adat kraton Yogyakarta. Jenis busana adat yang ditampilkan antaralain busana kencong putra, sabuk wala, patah manggung, pinjung kencong, grebeg, penganthi putri dan juga demo cara memakai udheng udharan atau iket.
Selain menampilkan demo cara memakaikan busana adat kraton Yogyakarta dalam kesempatan tersebut juga ditampilkan beksan Nawangwulan dan Joko Tarub. Tarian atau beksan Nawangwulan sengaja ditampilkan untuk memberikan wawasan kepada masyarakat terutama para perias agar mengetahui tentang sejarah midodareni yang ada dalam salah satu prosesi upacara pernikahan adat Yogyakarta. “Jadi kita mengadakan ini adalah agar para perias itu bisa mengetrapkan pakemnya daripada rias manten Yogyakarta”, kata Ketua HASTANATA DIY, Endang S Sujonoworo.
Prosesi midodareni identik dengan ubarampe berupa kembar mayang. Menurut Endang S Sujonoworo hal ini meneladani dari cerita legenda Dewi Nawangwulan yang telah kembali ke kahyangan dan berpesan kepada suaminya yakni Joko Tarub bahwa ia akan kembali ke bumi jika anak mereka (Dewi Nawangsari) menikah. Untuk itu, Dewi Nawangwulan minta disiapkan kembar mayang di dalam kamar pengantin. Melalui kembar mayang ini Dewi Nawangwulan akan hadir dan memberi restu anaknya. Kebanyakan perias tidak mengetahui sejarah tentang kembar mayang sehingga perlu disebarluaskan kepada masyarakat. “Kebanyakan perias tidak tahu apa gunanya kembar mayang itu. Lha itulah agar Nawangwulan datang menemui anaknya dan dia bisa merubah anaknya lebih cantik dari biasanya,” papar Endang S Sujonoworo.
Setelah penampilan beksan Nawangwulan-Joko Tarub kemudian dilanjutkan dengan peragaan busana kencongan. Busana ini digunakan untuk anak laki-laki usia 3-10 tahun. Biasanya dikenakan untuk acara sunatan. Busana kencongan berupa kain batik, sabuk lontong klithik, ikat pinggang songketan, cathok yaitu timang dan emasnya dan pakai udheng udharan (iket kepala). Kemudian perhiasan yang dipakai adalah kalung bagong atau bintang untuk anak usia 5 tahun dan kalung dinar untuk anak usia lebih dari 5 tahun.
Berikutnya adalah busana sabuk wala yaitu busana untuk patah Jogja Putri. busana sabuk wala terdiri dari sabuk wala nyamping batik yang digunakan untuk busana harian atau menghadiri upacara. Sedangkan sabuk wala nyamping praos digunakan khusus untuk resepsi tetesan yang diadakan bersamaan dengan upacara sunatan. Sabuk wala nyamping cindhe digunakan untuk upacara grebeg atau pada upacara tetesan yang diselenggarakan tidak bersamaan dengan upacara sunatan. Perhiasan yang dipakai adalah subang, kalung emas permata dan gelang.
Berikutnya busana pinjung kencong yaitu busana untuk remaja putri yang sudah menstruasi. Busana pinjung kencong biasanya dipakai saat acara di kraton atau untuk jagong. Busananya terdiri dari kain batik, udhet, dan kamus lontong. Kemudian juga dilengkapi perhiasan berupa gelang tretes, cincin dan subang bentuk bumbungan.
Berbeda dengan sabuk wala yang digunakan untuk patah jogja putri, busana patah manggung digunakan untuk patah yang mendampingi pengantin dengan busana paes ageng. Busana patah manggung harus memakai kebaya, gelung cepol, memakai kalung bintang, memakai gelang kana dan wajahnya juga harus dirias seperti pengantin jogja putri.
Tata cara berbusana sesuai adat Kraton Yogyakarta saat ini bisa diteladani oleh masyarakat di luar tembok kraton. Hal ini tidak lepas dari jasa para empu perias yang waktu itu meminta ijin kepada Sultan HB IX untuk mengembangkan tata rias adat kraton di luar tembok kraton. Pada waktu itu Sultan HB IX mengijinkan tata rias kraton dipakai di luar dengan catatan harus sesuai pakem kraton.
Untuk itu HASTANATA bertekad menjaga dan melestarikan tata rias pengantin dan busana adat kraton agar diketahui oleh generasi muda. Ketua HASTANATA, Endang S Sujoworo berpesan Jangan sampai generasi penerus menyimpang dari aturan yang telah ditentukan oleh para empu perias dahulu. (Rum) Sumber: Adiluhung 20/06/17.
Likes